Kamis, 07 Juli 2011

BINTANG TERANG CELL

dealer pulsa elektrik terima orderan saldo minimal pembelanjaan 50rb,transaksi cepat dan mudah...Buruan daftar sekarang GRATIS..!!Untuk pendaftaran silahkan hubungi no ini 081912552354
Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam
merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala
persaingan tersebut dilakukan dengan cara yang curang (unfair), dengan tujuan untuuk
menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing (barrier to entry) atau mematikan usaha
persainganya. Namun demikian, kompetisi dapat dilaksanakan secara wajar, apabila tercipta
pertumbuhan dunia usaha yang sehat dan menjamin adanya kesempatan berusaha yang
sama. Untuk itu dibutuhkan suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Oleh karena itu,
untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan terbangunnya iklim yang kondusif,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Lapangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No.
5 Tahun 1999).
UU Nomor 5 Tahun 1999 telah mengantisipasi beberapa perilaku pelaku usaha yang
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menciptakan kekuatan pasar yang
cenderung anti persaingan. Salah satu bentuk tindakan yang anti persaingan adalah
Diskriminasi Harga. Diskrimininasi Harga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang oleh UU No. 5/1999 yang dapat terjadi melalui penetapan harga berbeda yang
dilakukan oleh pelaku usaha untuk barang dan atau jasa yang sama dari suatu produsen
berdasarkan kriteria tertentu, atau mengenakan harga berbeda untuk pelanggan berbeda
berdasarkan tambahan yang tidak proporsional di atas biaya marjinal atau dapat juga diartikan
sebagai strategi penetapan harga non-linear yang mencoba untuk dapat memperoleh surplus
konsumen lebih banyak.
Selain itu diskriminasi harga dapat terjadi apabila pelaku usaha menentukan harga
sehingga perbedaan antara harga rata-rata dengan biaya rata-rata bervariasi diantara
penjualan barang yang sama atau barang yang fungsinya hampir sama. Diskriminasi harga
hanya dapat terjadi pada barang dan atau jasa yang sama dengan kuantitas yang sama.
Semua pengertian di atas mengacu pada praktek diskriminasi harga berdasarkan daya beli
atau pendapatan konsumen yang diproyeksikan dari struktur biaya pelaku usaha.
Namun demikian, melihat beragamnya praktek Diskriminasi Harga serta belum
teridentifikasinya praktek mana yang tidak membahayakan persaingan usaha yang sehat
maka diperlukan adanya suatu pedoman yang mampu memberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai diskriminasi harga bagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 5/1999.
Diskriminasi Harga adalah kemampuan pelaku usaha untuk menentukan harga pada
barang dan jasa yang sama pada kualitas yang sama pada konsumen yang berbeda.
Diskriminasi Harga harus dibedakan dengan diferensiasi Harga. Dalam pandangan
ekonomi secara teknis, Diferensiasi Harga juga didefinisikan penjualan komoditas yang sama
kepada pembeli yang berbeda dengan harga yang berbeda-beda. Dalam teknis implementasi
suatu perusahaan bisa melakukan teknis-teknis strategi Harga yang indentik dengan teknikteknik
yang dilakukan dalam Diskriminasi Harga. Suatu strategi Harga yang diterapkan
perusahaan terkategorikan sebagai perilaku Diskriminasi Harga yang dilarang jika kondisikondisi
berikut terjadi:
􀁺 Penjual/produsen memiliki kekuatan monopolistik (market power) tertentu setidaknya di
satu pasar.
􀁺 Ada separasi antar pasar yang tidak memungkinkan pembeli melakukan penjualan
kembali (no arbitrage).
􀁺 Pembeli-pembeli pada pasar-pasar yang berbeda memiliki tingkat permintaan dan
elastisitas permintaan yang berbeda-beda.
􀁺 Penjual/produsen monopolistik bisa memanfaatkan adanya perbedaan willingness to
pay dari tiap-tiap konsumen.
Ketika 4 kondisi tersebut terjadi maka ketika suatu perusahaan melakukan penetapan
harga yang berbeda untuk barang dan jasa yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang
sama pada pembeli yang berbeda, dipastikan telah melakukan Diskriminasi Harga yang
dilarang oleh Pasal 6.
Hal ini juga senada dengan penerapan Diskriminasi Harga yang dianut di negara-negara
lain. Pelarangan Diskriminasi harga di Eropa menunjukkan diskriminasi harga yang bersyarat
yakni diskriminasi harga yang dilakukan oleh pelaku pasar yang dominan (article 82 (c)/
European Competition Law ; one or several firms holding dominant position applying
dissimilar condition to equivalent transaction with other trading parties, thereby placing
them at a competitive disadvantage” yang merupakan penyalahgunaan posisi dominant di
pasar, dimana dissimilar condition ini dalam penjelasannya termasuk dissimilar price (Geradin
and Petit, 2005).
Begitu juga jika merujuk pada Persetujuan UNCTAD (United Nation Conference on
Trade and Development) tahun 1994 bahwa Diskriminasi Harga dalam Hubungan Vertikal
hanya dilarang jika merupakan penyalahgunaan Posisi Dominan di Pasar.